JURAGANQQLAUNGE — Cerita sejarah masuknya menjelang Imlek pada 25 Januari 2020, sejumlah masyarakat pun sudah bersiap untuk menyambut perayaan tersebut. Persiapan tersebut mulai dari melakukan ritual bersih-bersih patung di kelenteng, ritual Pao Oen sebagai bentuk permohonan ampun kesalahan dan pertobatan serta lainnya.
Demikian juga di persiapan yang dilakukan masyarakat Tionghoa di Surabaya, Jawa Timur. Mengutip Antara, warga sudah ada membuat lampion berbentuk tikus di Kampung Pecinan Tambak Bayan, Surabaya, Jawa Timur. Pembuatan lampion untuk menyambut tahun baru Imlek 2571.
Untuk merasakan suasana Imlek, Surabaya, termasuk salah satu kota yang dapat jadi pilihan untuk melihat perayaan Imlek. Di Kota Pahlawan ini terdapat sejumlah kelenteng yang tua dan bersejarah. Ini menunjukkan beragamnya masyarakat di Surabaya yang terdiri dari berbagai etnis, suku dan agama.
Cerita Sejarah Masuknya Masyarakat Tionghoa di Surabaya
Kelenteng berdiri sudah ratusan tersebut menunjukkan masuknya masyarakat Tionghoa sudah lama. Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Adrian Perkasa menuturkan, jika menilik catatan sejarah, awal mula masyarakat Tionghoa datang ke Surabaya seiring datangnya ekspedisi tentara Mongolia di Jawa pada abad ke-13. Kehadiran masyarakat Tionghoa ke Surabaya juga disusul ketika Kerajaan Majapahit mengalami kejayaan.
Pegiat Sejarah Ady Setiawan menuturkan, masyarakat Tionghoa imigrasi ke Indonesia sebagai pedagang. Ini juga sama dengan masyarakat Arab dan India.
Adrian menuturkan, pada masa kolonial Belanda terdapat kebijakan Wijkenstelsel di Surabaya. Kebijakan Wijkenstelsel adalah kebijakan yang dibuat untuk membagi permukiman penduduk berdasarkan etnisnya.
Mengutip dari buku “Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan” yang ditulis oleh Purnawan Basundoro, permukiman orang-orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya terletak di sebelah timur kawasan Jembatan Merah (seberang sungai Kalimas).
Perayaan Imlek di Surabaya Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial
Bicara soal perayaan Imlek, ternyata perayaan tahun baru China ini sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Adrian bercerita pada masa kolonial, orang-orang Tionghoa sudah diperbolehkan untuk merayakan Imlek di Surabaya.
Beberapa kawasan di Surabaya yang menjadi tujuan utama saat perayaan Imlek dilakukan menurut Adrian adalah di kawasan Pecinan, mulai dari Kembang Jepun, Kapasan, Karet, Coklat, Jagalan, dan Tambak Bayan.
Ia menyebutkan, beberapa kebudayaan masyarakat Tionghoa yang ada dan berkembang di Surabaya di antaranya adalah Barongsai dan Wayang Potehi. Namun, budaya tersebut mempunyai perbedaan pada zaman kolonial dan sekarang.
Menurut Adrian, dari kepercayaan Tionghoa khususnya dalam fengshui, Barongsai dikenal memiliki makna yang baik bagi suatu tempat karena dianggap bisa mengusir energi negatif, mengusir roh-roh jahat, dan membawa keberuntungan atau hoki.
Selain Barongsai, ada juga kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa, yaitu Wayang Potehi. Wayang Potehi dianggap unik karena memadukan antara budaya Tionghoa dan budaya lokal khususnya Jawa.
Adiran menjelaskan bahwa Wayang Potehi adalah wayang yang berbentuk kantong dari kain ini mengambil cerita dari lakon-lakon Tionghoa seperti Sampek Eng Tay, Perjalanan Ke Barat atau Kera Sakti, Kisah Tiga Kerajaan dan lainnya. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukkan Wayang Potehi ini adalah bahasa lokal, jika di Surabaya sering dimasukkan bahasa Jawa dialek Suroboyoan.
Wayang Potehi di Surabaya masih dipertunjukkan setiap hari di Kelenteng Jalan Dukuh, ketika mendekati Perayaan Imlek seperti sekarang akan lebih ramai. Namun, Adrian mengatakan Wayang Potehi semakin kurang diminati masyarakat, terutama untuk peran sebagai dalangnya.
Adrian menuturkan, pada saat Imlek sampai Tjap Go Meh di awal abad ke-20 di Surabaya tercatat tidak hanya diramaikan oleh kehadiran barongsai, kembang api, dan budaya-budaya khas Tionghoa lainnya melainkan juga wayang, dalang keliling, topeng, dan lain-lain.
Support By Agen Poker Online