Heman Bekele (15) telah melihat dampak sinar matahari pada kulit manusia ketika di rinya masih kecil dan tinggal di Ethiopia. Saat itu, ia melihat banyak sekali orang bekerja di bawah terangnya paparan sinar matahari tanpa menggunakan pelindung kulit.
Bertahun-tahun kemudian, ketika Bekele berusia 7 tahun, ia bermigrasi ke Amerika Serikat. Pada suatu malam Natal, ia mendapatkan hadiah satu set peralatan eksperimen kimia termasuk natrium hidroksida. Semenjak saat itu ia mulai mempelajari reaksi kimia.
“Ketika saya masih muda, saya tidak terlalu memikirkannya, tetapi ketika saya datang ke Amerika, saya menyadari betapa besarnya masalah yang di timbulkan oleh sinar matahari dan radiasi ultraviolet ketika Anda terpapar sinar matahari dalam waktu lama,” ucap Bekele di kutip dari People, Sabtu (17/8/2024).
Semenjak saat itu, ia mulai tertarik pada penelitian seputar kanker kulit dan pengobatan.
Bekele akhirnya mengetahui tentang imiquimod, sebuah obat yang telah di setujui untuk mengobati beberapa jenis kanker kulit. Ketika di gunakan dalam bentuk krim, obat ini juga dapat membantu menghancurkan tumor.
Semenjak saat itu Bekele berpikir apakah ada cara lain untuk menggunakan imiquimod untuk mengobati kanker kulit stadium awal dan membuatnya lebih mudah di akses oleh orang dari berbagai kelas sosial ekonomi.
“Hampir semua orang menggunakan sabun dan air untuk membersihkan. Jadi sabun mungkin pilihan yang terbaik,” katanya.
Bekele Mengembangkan Sabun
Bekele akhirnya memutuskan untuk mengembangkan sabun. Sabun batangan akan jauh lebih murah bila di bandingkan dengan bentuk krim
Bekele menjelaskan bahwa sabun tersebut nantinya mengandung nanopartikel yang ‘di isi’ dengan imiquimod. Langkah itu di lakukan untuk memastikan obat tersebut tetap berada di kulit pada tingkat molekuler, bahkan setelah sabun di bilas.
Idenya tersebut membuat para ilmuwan terkagum dan membuat Bekele memenangkan kompetisi ilmuwan muda di tahun 2023. Pada saat itu ia mendapatkan hadiah 25 ribu dollar Amerika (Rp 392 juta).
Ia melakukan penelitian tersebut di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Baltimore, Amerika Serikat. Pada saat ini, masih ada banyak tahapan yang harus di lalui sebelum sabun tersebut di setujui sebagai pengobatan.
Dengan bantuan, ahli biologi molekuler Profesor Vito Rebecca, mereka telah melakukan uji pada hewan tikus untuk menjalankan uji dasar dari kebermanfaatan sabun tersebut.
Bekele mungkin membutuhkan waktu sekitar satu dekade sebelum sabun tersebut di setujui untuk pengobatan kanker. Sementara itu, ia banyak mempromosikannya dalam berbagai presentasi.